TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Konsepsi pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubungkan
dengan aspek-aspek spasial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui
kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan keberhasilan. Hal ini
antara lain dapat dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong, Australia,
dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut
umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari
aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung jawab
sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara transparan,
adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja
aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga
sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya
ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural
capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua
itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari
beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard)yang
dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan
semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-hasil pembangunan dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan
waktu(inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial menjadi kurang
relevan dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan
Rochmin Dahuri, 2004).
Namun demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di
atas sejalan dengan kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara
dan wilayah lain, dikemukakan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul
seiring ditemukannya fenomena yang khas, antara lain kesenjangan,
kemiskinan, pengelolaan public goodyang tidak tepat, lemahnya mekanisme
kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan
itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk,
barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit)dan kerugian (cost) di
dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi
alirannya sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil
pembangunan menjadi mudah diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok
masyarakat, maupun pelaku ekonomi. implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu
dicerminkan oleh ketidakpercayaan terhadap sumberdaya saat ini karena penuh
dengan berbagai resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan
ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari kehancuran (in
sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas adalah mekanisme
pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak mampu dihambat karena
beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan dapat diterima oleh logika
ekonomi disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.
Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus
tantangan dan peluang baru bagi proses pembangunan di Indonesia. Dalam era
seperti ini, kondisi persaingan antar pelaku ekonomi (badan usaha dan/atau
negara) akan semakin tajam. Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam ini,
tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali) dituntut menerapkan dan mengimplementasikan
secara efisien dan efektif strategi bersaing yang tepat (Kuncoro, 2004). Dalam
konteksi inilah diperlukan ”strategi berperang” modern untuk memenangkan
persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif diperlukan tiga hal (D’Aveni,
1995), pertama, visi terhadap perubahan dan gangguan. Kedua, kapabilitas,
dengan mempertahankan dan mengembangkan kapasitas yang fleksibel dan cepat
merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang mempengaruhi arah dan
gerakan pesaing.
Comments
Post a Comment