B. Evolusi dan Pergeseran
Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan
yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik
Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan
pada peningkatanProduk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi,
kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi
pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan
per kapita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk
meningkatkan output yang dapat melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi
pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah
struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi
mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat
segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator
sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang
berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari
benarkah semua indikator ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa
ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan
tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengangguran,
distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran
yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma
pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang
multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa
pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Kuncoro, 2000;
Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan
hidup.
2. Harga
diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam
arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai
manusia yang berada di daerah itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi
setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan
berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut
mengakibatkan terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004),
pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa
“pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan
“pembangunan ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal
pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah
seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang
timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya
yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang
diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi
proses pembangunan (Esmara, 1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan
ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional,
sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang
tentang arti pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya
mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial.
Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with
change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata lain,
pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun
lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada
tahap awal pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun
banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah
pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang
dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang
modal asing dan melakukan industrialisasi. Peranan sumber daya manusia
(SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah satu
“faktor produksi” saja.Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan
merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas
telah mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun
maksimisasi keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam
rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM
dalam kerangka production centered development (Tjokrowinoto, 1996).
Bisa dipahami apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigma pembangunan
yang semacam itu terbatas pada masalah pendidikan, peningkatan ketrampilan,
kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas manusia yang
meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan
masyarakat industrial.Alternatif lain dalam strategi pembangunan manusia adalah
apa yang disebut sebagaipeople-centered development atau panting
people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia (rakyat)
merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia
merupakan sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang semacam ini
jelas lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan trampil
sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek
pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia,
yaitu kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam
pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic
needs) pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan
berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan
yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro,
2003). paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Para proponen strategi “pertumbuhan
dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”, pada hakekatnya
menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi
(memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana
distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan kombinasi strategi
seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada
petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah.
2. Strategi
pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam
“jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari
setiap program pembangunan.
3. Pembangunan “mandiri” telah muncul
sebagai kunsep strategis dalam forum internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi
Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja sama yang menarik
dibanding menarik diri dari percaturan global.
4. Pentingnya
strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan
ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas
dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah,
strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun
sosial.
5. Sejauh ini
baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsepecodevelopment dalam
formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan
untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara
secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi
Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro, 2004).
Comments
Post a Comment