Skip to main content

pendekatan sejarah islam dalam wujud historiografi islam



Pendekatan Sejarah dalam Wujud Historiografi Islam
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil dari penulisan sejarah disebut sebagai historiografi. Dan jika sejarah yang ditulis adalah sejarah Islam, maka disebut historiografi Islam. Dalam sejarah, historiografi Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. 
Pada periode klasik, Dalam bukunya Historiografi Islam, Badri Yatim mengikuti pembagian Husein Nashar yang historiografi Islam Awal menjadi tiga aliran, yaitu aliran Madinah, aliran Iraq dan aliran Yaman. Pada aliran Madinah, penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang pertama yang menyusun al-Maraghi dan kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-Maraghi, ialah Aban Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW).[1][11]
Pada aliran Iraq, pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian karena panatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.[2][12]
Pada aliran Yaman, yang difokuskan adalah penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh sebelum Islam datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan mempengaruhi historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Ka’ab al-Ahbar Wahb Ibn Munabbih dan ‘Ubayd ibn Syariyah.[3][13]
Periode pertengahan merupakan periode kemunduran peradaban Islam, di mana secara politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan umat Islam berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama setelah penyerangan Hulagu Khan dari Mongol yang membumihanguskan kekuatan khilafahan Bani Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258 M. Kemunduran peradaban Islam ini disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Badri Yatim, kelemahan khalifah merupakan salah satu faktor kemunduran peradaban Islam pada periode ini. Selain itu, menurut Guru Besar Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, ada beberapa faktor yang yang saling berkaitan satu sama lain, di antaranya adalah adanya persaingan antarbangsa Arab dan Persia, telah terjadinya kemerosotan di bidang ekonomi, adanya konflik keagamaan yang berkembang di kalangan penganut aliran Sunnah dan Syi’ah dan adanya ancaman dari pihak luar, baik akibat perang Salib maupun serangan Mongol.[4][14]
Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi agama secara umum tidak dilakukan lagi oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan minimnya karya ilmiah baru di berbagai bidang, termasuk sejarah.  Sementara itu, di negera-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa pertengahan dalam periode sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan studi agama di kalangan mereka berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M. Perhatian ini ditandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Introduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amerika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Keadaan inilah yang membuat para ilmuwan Barat ini mampu mengembangkan pendekatan mereka dalam studi agama ke pendekatan sejarah, seperti yang diwujudkan dalam karya-karya mereka di bidang sejarah pada periode modern yang akan diuraikan selanjutnya dalam makalah ini.
Namun hal ini bukan berarti tidak ada seorang ilmuwan muslim pun yang menghasilkan karya ilmiah baru pada periode ini. Bukti yang paling nyata adanya historiografi Islam pada masa ini adalah karya fenomenal Ibn Khaldun yang berjudul Kitabul’Ibar Wa Diwanul Mubtadai Walkhabar Fi Ayyamil’arab Wal’ajami Walbarbar Waman ‘Asharahum Min Dzawis Sulthanil Akbar.
Yang sangat disayangkan terkait dengan pendekatan sejarah dalam studi Islam pada periode ini adalah bahwa hal itu berhenti pada sosok Ibn Khaldun tanpa ada lagi ilmuwan berikutnya yang mengikuti jejaknya sampai memasuki periode modern. Ironisnya lagi, di dunia Islam buku al-Muqaddimah ini sendiri baru diterbitkan di Kairo pada tahun 1855.
Sejak runtuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah pada 1258 M., yang menandai kemunduran peradaban Islam hingga periode modern, bahkan sekarang, kepedulian umat Islam masih sangat rendah terhadap sejarah. Disiplin ilmu sejarah bagi umat Islam merupakan ilmu yang tertinggal dibanding ilmu yang lain, seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf. Setelah Al-Muqaddimah, karya Ibn Khaldun, karya ilmiah tentang sejarah di dunia Islam yang menjadi referensi utama umat Islam hingga kini belum ada yang menandinginya, padahal dalam Islam, manusia memiliki peran sentral dalam sejarah. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa manusialah yang memiliki kekuatan penggerak sejarah yang berupa kesadaran yang berakar dalam sifat dan fitrahnya. [5][15]
Senada dengan hal itu, Muhammad Baqir Shardar, dalam bukunya mengatakan bahwa manusia dengan jiwa, pikiran dan semangat yang dimilikinya merupakan dinamo yang menggerakkan sejarah.[6][16]
Pada periode modern, di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abdurrahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan dan mengembangkan corak penulisan sejarah melalui metode hawliyat ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik). Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah








Comments

Popular posts from this blog

SIUP Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”).

Mengutip istilah Perdagangan dari Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya , Perdagangan berarti kegiatan usaha transaksi barang atau jasa seperti jual-beli, sewa beli, sewa menyewa yang dilakukan secara berkelanjutan dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan kompensasi. Dalam melaksanakan kegiatan Perdagangan, perusahaan perdagangan wajib memiliki surat izin untuk melaksanakan kegiatan Perdagangan yang dinamakan Surat Izin Usaha Perdagangan (“ SIUP ”). Kegiatan usaha yang tercantum didalam SIUP menurut lampiran Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya adalah kegiatan-kegiatan usaha yang diklasifikasikan didalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik 57/2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“ KBLI ”). Kami mengasumsikan ibu Novi dalam menjual oli, gas, dan keinginannya menjual susu, diapers , dan peralatan bayi lainnya dilakukan secara eceran. Menurut Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik 57/2009, perdaganga...

pertamina SATUAN PENGAWASAN INTERN (SPI)

SATUAN PENGAWASAN INTERN (SPI) Kedudukan dan Kualifikasi SPI mempunyai kedudukan langsung di bawah Direktur Utama untuk menjaminindependensinya dari kegiatan atau unit kerja yang diaudit. Kepala SPI harus memiliki kualifikasi akademis dan kompetensi yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kepala SPI diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama dengan persetujuan Komisaris. Tugas dan Tanggung Jawab SPI Membuat strategi, kebijakan, serta rencana kegiatan pengawasan. Memonitor pencapaian tujuan dan strategi pengawasan secara keseluruhan serta melakukankajian secara berkala memastikan sistem pengendalian internal Perusahaan berfungsi efektif termasuk melakukan kegiatan yang dapat mencegah terjadinya penyimpangan serta melakukan assessment terhadap sistem tersebut secara berkala melaksanakan fungsi pengawasan pada seluruh aktivitas usaha yang meliputi antara lainbidang akuntansi, keuangan, sumber daya manusia dan operasional. Melakukan audit guna mendor...

Sejarah Singkat Manajemen Kualitas

Sejarah Singkat Manajemen Kualitas         Kalau dibuat semacam periodisasi sejarah perkembangan manajemen kualitas, maka perkembangan manajemen kualitas telah dimulai sejak awal tahun 1920 yang dimotori oleh beberapa ahli di bidang kualitas. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode awal yakni 1920-1940. Pada periode ini manajemen kualitas fokusnya masih sebatas pada inspeksi atau pengawasan. Pandangan saat itu menyatakan bahwa bila inspeksi dilakukan dengan baik, maka hasil kerja akan baik pula. Bila hasil kerja baik dalam arti sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan, maka disebut berkualitas. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka posisi inspektor menjadi penting. Mereka melakukan pengawasan dengan mengukur hasil produksi berdasarkan spesifikasi. Untuk memudahkan kerja mereka, maka penggunaan konsep statistik yang dikembangkan untuk dapat diaplikasikan dalam pengendalian variabel produk seperti panjang, lebar, berat, tinggi, daya tahan melal...